Selasa, 31 Maret 2009


Berhubung Pemilu Dikit Lagi, ane Cuma Mao Ngasih Tau, Kalo Mao Budaye Betawi Terus Berkembang Dan Engga Ketinggalan Jaman, Saat Nye Kite Milih, Orang Nyang Bener-2 Orang Betawi Asli. Kalo Ane Boleh Kasih Pendapet, Pilih Aje Caleg DPRD Yang Di Nomer 24. atau PPP ( Partai Persatuan Pembangunan ), Nah kalo Emang Pade Bersedie, Pilih Caleg Nomer Urut (7)


(7) H. Marulloh Soleh

Ane Jamin Dah Die Anak Betawi Asli, Dan Yang Bakal Memajuakan Bangse Indonesia Khususnye Budaye Betawi Yang Sangat Kite Cintain Nie.

Sebelum Dan Sesudahnye, Ane Ngucapin Terima Kasih Banyak Atas Dukungan Sodare - Sodare Semua... Semoga Dengan Memilih Dan Terpilihnye Sodare Kite H. Marulloh Soleh, Bangse Indonesia Dan Budaye Betawi Terus Maju Dan Berkembang.. Amin Ya Robbal A'alamin

Sabtu, 13 September 2008

Sekilas Tentang H. MARULLOH SOLEH


H. Marulloh Soleh adalah Putra Betawi yang berjuang untuk kemaslahatan umat melalui politik dan sosial, berkiprah mulai dari Ormas NU dan PPP dan saat ini juga aktif di Ormas Putra Putri Perintis Kemerdekaan Indonesia, peduli hal-hal yang bersifat social kemasyarakatan, Saat ini CALEG PPP No.7 untuk DPRD DAPIL Jakarta Selatan.

PROFILE

H.Marulloh Soleh
lahir di Jakarta, 27 Oktober 1962
beralamat di jalan H. Ami Kelapa Dua Jagakarsa Jakarta Selatan
memiliki seorang istri dan 5 orang anak yaitu 1 putri dan 4 orang putra
Jabatan saat ini :
Penasehat Fraksi PPP DPRD DKI Jakarta
Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta
Wakil Ketua DPW PPP DKI Jakarta
Ketua DPD Putra Putri Perintis Kemerdekaan Indonesia ( P4KI )
salah seorang Pembina Gerakan Pemuda Ansor Jakarta Selatan
Pembina Yayasan Insan Pembangunan Indonesia
Pemimpin Umum Tabloid Pembangunan

VISI DAN MISI

VISI dalam Berpolitik senantiasa berperan dalam membangun kota Jakarta yang lebih manusiawi ( madani )
MISI yang diemban sejalan dengan misi partai yaitu menegakkan amar ma'ruf nahi munkar dalam kehidupan sehari-hari antara lain agar terbentuknya kehidupan masyarakat jakarta yang madani yang berpegang pada norma-norma hukum dan ajaran agama baik dibidang pemerintahan maupun dalam kehidupan sosial masyarakat jakarta.

Sabtu, 23 Februari 2008

Istiqomah Modal Utama Kader dan Pemimpin PPP

Drs H Marulloh Soleh

Jakarta, MADINA): Drs H Marulloh Soleh, 50, yang putera seorang Veteran Pejuang Revolusi 1945 asal Mampang Prapatan Jakarta Selatan sejak remaja telah terjun di dunia politik melalui Partai Persatuan Pembangunn (1973). Sebelumnya dia memang salah seorang aktivis dan pengidola Partai Politik NU (Nahdlatul Ulama) Peserta Pemilu 1972. Ketika 4 (empat) Partai Politik (Parpol) Islam (NU, Parmusi, PSII dan Perti) berfusi jadi satu dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Kala itu PPP berlambang gambar Kabah bernomor Urut 1. Di Parpol PPP Marulloh Soleh Muda pernah terjun jadi Ketua/ Pimpinan PPP Kelurahan. Menjelang 1992, Marulloh Soleh menjabat Ketua Pimpinan Anak Cabang (PAC) PPP Mampang. Puncak karir politiknya ketika Marulloh Soleh masuk dalam jajaran kepengurusan DPC (Dewan Pimpinan Cabang) PPP Kota Madya Jakarta Selatan di bawah kepemimpinan H Jayadi Musa (1996-1999). Pada tahun 2000, selaku Wakil Ketua 1 DPC PPP Kodya Jaksel, H Marulloh Soleh didaulat menduduki jabatan Ketua dan Pimpinan DPC PPP Jaksel karena Pimpinan dan Ketua DPC PPP Jaksel meninggal mendadak karena serangan jantung. H Marulloh Soleh menjabat Ketua DPC PPP Jaksel dari tahun 2001-September 2003 (selama 3 tahun). Di tengah priode DPC PPP yang dipimpinnya muncul keinginan Kepengurusan PPP dari ranting (Kelurahan), Kecamatan dan jajaran DPC PPP yang mengajukan mosi tidak percaya. Mereka meminta segera diadakan pemilihan kepemimpinan DPC PPP Jaksel yang baru. Demi asas demokrasi dan pembenahan PPP dari bawah ke atas (Button Up), H Marulloh Soleh mengamini tuntutan para konstituen masa itu. “Pelaksanaan Muscab (Musyawarah Cabang untuk memilih Kepengurusan DPC PPP Jaksel) pada 20 September 2003 di Hotel Maharani Jakarta Selatan di tengah priode kepemimpinan DPC PPP, merupakan Muscab Transisi. Padahal Muscab yang sebenarnya adalah dilaksanakan pada akhir dan bukan di tengah priode. Karena jelas peraturan dan anggaran dasarnya seperti itu. Jadi bila kita mengadakan juga Muscab di tengah priode karena Kepengurusan DPC PPP kita telah dianggap sedang bermasalah. Padahal menurut saya, DPC PPP Jakarta Selatan sama sekali tidak sedang bermasalah,” kata H Marulloh Soleh. (Lihat SK Madina Edisi58 Thn II 30 Januari-5 Februari, 2005). Dikatakannya lagi, karena kebesaran hati para pengurusnya waktu itu, maka untuk tidak terjadi misunderstanding antara fungsionaris DPC PPP Jaksel dan sebagainya, diadakanlah Muscab. Juga dimaksudkan agar tak terjadi penganak-tirian dan penganak-emasan DPC kita oleh Wilayah. Dan atau di Kepengurusan PPP se-Jaksel. Jelasnya agar tak terjadi kecemburuan social DPC-DPC lain terhadap DPC Jaksel. Maka dengan sangat legowo PPP Jaksel mengadakan Muscab,” kata H Marulloh Soleh kepada wartawan di rumahnya yang masih di Mampang Prapatan Jaksel ketika itu. Pada Muscab 20 September 2003, H Marulloh Soleh kalah suara dengan kandidat Hambali SE. Meski pun H Marulloh Soleh gagal mempertahankan jabatannya yakni Pimpinan DPC PPP Kodya Jaksel, namuntakdir Allah SWT berbicara lain. Allah SWT memang selalu berpihak kepada orang yang istiqomah dan berakhlak mulia. Pada tahun 2003/2004, H Marulloh Soleh terpilih sebagai anggota PAW (Pergantian Antar Waktu) DPRD DKI Jakarta menggantikan Jafar Bajeber yang hengkang ke Partai Bintang Reformasi Pimpinan KH Zainuddin MZ. Jafar Bajeber terkena pinalti dan direcall PP (Pimpinan Pusat) PPP Prof Dr Hamzah Haz. Otomatis H Marulloh Soleh menggantikan Jafar Bajeber di Kursi DPRD Jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat atas rekomendasi DPW (Dewan Pimpinan Wilayah) PPP DKI Jakarta (Drs H Ahmad Suadi MBA) dan PP PPP Prof DR Hamzah Haz.
(rah
dikutip dari http://republika.co.id/koran_detail.asp?id=275047&kat_id=84

Rahasia Nama-nama Kampung Betawi
Pemda dan DPRD DKI Jakarta rupanya menghadapi kesulitan untuk memberi nama-nama pahlawan nasional pada jalan-jalan utama Jakarta. Seperti nama Harmoni, yang dikenal selama ratusan tahun, diganti jadi Jl Majapahit.
Boplo di kawasan Menteng/Cikini yang berasal dari nama NV De Bouwploeg, sebuah perusahaan real estate yang membangun kawasan Menteng tahun 192-1930-an diganti jadi Jl RP Panji Suroso. Nama Kampung Sawah Besar yang hampir seusia kota Jakarta diganti jadi Jl Samanhudi, Jakarta Pusat.
Hampir bersamaan dengan itu hilang pula Kampung Jaga Monyet di kawasan antara Harmoni dan Petojo. Kini jadi Jl Sukardjo Wiryopranoto. Banyak yang tidak kenal siapa tokoh yang dijadikan nama jalan yang menghubungkan Jakarta Barat dan Jakarta Pusat ini. Padahal Jaga Monyet sudah ada sejak zaman VOC.
Saat Batavia sering diserang gerilyawan Islam Banten dari arah Grogol dan Tangerang, maka Belanda membangun benteng. Karena lebih sering menghadapi monyet-monyet yang berkeliaran, katimbang musuh, maka tempat penjagaan itu dinamai Jaga Monyet. Sekaligus jadi nama kampung di sekitarnya.
Ada lagi nama tempat di Jakarta yang sudah berusia ratusan tahun, yakni Paal Meriam. Terletak di antara perapatan Matraman dan Jatinegara. Asal usul nama tempat ini tahun 1813. Pada waktu itu terjadi pertempuran sengit antara pasukan artileri meriam Inggris dengan pasukan Belanda/Prancis. Pasukan meriam Inggris disiapkan di daerah ini untuk melakukan penyerangan ke kota Batavia. Peristiwa tersebut sangat terkesan bagi masyarakat sehingga disebut Pal Meriam.
Versi lain menyebutkan, ketika ketika gubernur jenderal Daenderls membuka jalan Anyer (Banten) - Panarukan (Jatim) sejauh 1000 km, daerah pal mariam ini merupakan rute jalan trans Jawa tersebut. Di lokasi pal meriam di pasang patok jalan yang terbuat dari meriam yang tidak terpakai. Masyarakat yang melihat meriam tersebut sebagai patok jalan menyebut daerah itu Pal Meriam. Sayang nama bersejarah ini diganti dengan Jl KH Ahmad Dachlan. Padahal nama ini sudah banyak diabadikan untuk nama jalan di Jakarta.
Di dekat Pal Meriam, terdapat kampung Solitude, yang juga penduduknya kebanyakan warga Betawi. Solitude berasal dari kata bahasa Inggris yang berarti 'kesunyian'. Karena kala itu banyak anggota tentara Inggris yang mati ketika menggempur Batavia. Mayatnya bergeletakan di rawa-rawa. Hingga dinamakan Rawa Bangke. Entah kenapa nama yang punya sejarah kota Jakarta diganti jadi Rawa Bunga.
Kalau kita ke Jakarta Kota, di wilayah Kelurahan Roamalaka, Kecamatan Tambora, terletgak Jalan Tiang Bendera. Nama ini berasal dari bendera yang sehari-hari terpancang di depan rumah Kapiten Cina pada pertengahan zabad ke-18. Mulai 1743, tiap tanggal 1 penanggalan Masehi, pada tiang bendera di rumah tersebut dikibarkan bendera. Maksudnya untuk mengingatkan masyarakat Tionghoa untuk membayar pajak kepala, sewa rumah dan berbagai pajak lainnya. Bagi orang Cina di Batavia, tanggal 1 setiap bulan disebut dag der vlaghijsching (hari pengibaran bendera).
Mungkin banyak yang ingin tahu asal nama Kampung Petamburan, yang merupakan tetangga dari pusat pertokoan dan pebelanjaan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Pada masa lalu rumah penduduk masih jarang dan banyak tumbuh pohon jati disekitarnya. Suatu ketika di daerah ini meninggal seorang penabuh tambur. Ia kemudian dimakamkan di bawah pohon jati, sehingga jadilah nama kampung Jatipetamburan.
Pejambon terkenal karena terletak Departemen Luar Negeri. Di sebelahnya, yang merupakan bagian dari Deplu (kini disebut Gedung Pancasila), tempat sidang Volksraad (parlemen Belanda berlangsung). Di tempat inilah Bung Karno berpidato pada 1 Juni 1945 dan dikenal dengan hari kelahiran Pancasila. Sehari setelah kemerdekaan -- 18 Agustus 1945 -- Soekarno dan Hatta dilantik sebagai presiden dan wakil presiden. Pada waktu bersamaan disahkan UUD 1945.
Kampung Pejambon baru ada sejak Daendels membuka daerah ini dengan sebutan Weltevreden. Kata 'pejambon' berasal dari kata 'penjaga Ambon'. Penjagaan tersebut berada di sebuah jembatan yang melintasi kali Ciliwung dan penjaganya orang Ambon. Pejambon juga tempat tinggal Nyai Dasima ketika dia menjadi nyai (istri piaraan) tuan Willem, seorang pembesar Inggris. Dia kemudian menjadi istri Samiun, tukang sado dari Kwitang, dan dibunuh oleh Bang Puase, jagoan Kwitang, atas perintah Hayati, istri tua Samiun.
Kawasan Pluit di Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara dikenal dengan perumahan mewahnya, yang hanya dapat dibeli oleh orang-orang yang benar-benar tajir. Banyak pedagang di Glodok yang omzetnya miliaran rupiah per hari memiliki perumahan di Pluit, di samping perumahan mewah lainnya. Menurut peta Topographish Bureau Batavia (1903), sebutan bagi kawasan ini adalah Fluit. Lengkapnya Fluit Muarabaru. Menurut kamus Belanda Indonesia (Wojowasito), fluit berarti suling, bunyi suling dan roti panjang sempit.
Rupanya nama kawasan itu tidak ada hubungbannya dengan sulit, atau pluit, semacam pluit wasit sepakbola atau polisi. Ternyata nama kawasan tersebut berasal dari fluit, lengkapnya fluitschip yang berarti kapal (layar) panjang berlunas ramping.
Sekitar 1660 di pantai sebelah timur muara Kali Angke diletakkan sebuah fluitschip, bernama Het Whitte Paert, yang sudah tidak laik laut. Dijadikan kubu pertahanan untuk membantu Benteng Vijfhoek di pinggir Kali Grogol, sebelah timur Kali Angke, dalam rangka menanggulangi serangan-serangan sporadis pasukan Banten. Kubu tersebut kemudian dikenal dengan sebutan De Fluit, yang kemudian jadi Pluit hingga sekarang.

BETAWI DAN SEJARAH JAKARTA

Ada suku yang sangat unik, metropolis, mengenal budaya kota jauh lebih dulu ketimbang New York yang urban, suku itu adalah suku Betawi, bagi kita yang tinggal di Jakarta suku betawi sesungguhnya tidak asing bahkan menjadi bagian budaya dari orang-orang yang lahir dan besar di Jakarta. Betawi bagi sementara orang merupakan hal yang identik dengan Jakarta. Namun sejak pembangunan besar-besaran kota Jakarta yang dimulai sejak terselenggaranya Asian Games 1962 dan Ganefo, juga runtuhnya pemerintahan Sukarno yang menaikkan Suharto di tahun 1967 berakibat banyak sekali terhadap suku asliBetawi. Faktor lokasi-lah yang menyebabkan suku betawi menjadi semakin berjarak dengan Jakarta. Asal muasal nama Betawi bukanlah nama yang sesungguhnya di berikan kepada suku ini, nama Betawi merupakan turunan kata/ penyesuaian lidah dari Batavia. Nama Batavia-pun ada di Negara Bagian New York. Bahkan kota Batavia pernah menjadi role model bagi Belanda untuk membangun New Amsterdam sebuah kota di pinggir sungai Hudson, setelah ditaklukkan Inggris kota itu berubah nama menjadi New York. Portugis yang mengincar pelabuhan-pelabuhan dagang Banten di tahun 1520-an, bekerja sama dengan kekuasaan Pajajaran-Hindu untuk membendung gerakan politik Banten-Islam. Namun pada tahun 1590, Banten mengirim seorang panglima perang bernama fatahillah yang baru saja datang dari Malaka, Fatahillah bersama para jawara dari Banten dan dibantu dengan pasukan dari Cirebon berhasil mengusir Portugis dan membangun benteng pertahanan di sekitar pantai Sunda Kelapa, sejak saat itu oleh Fatahilllah pantai Sunda Kelapa dijadikan pelabuhan dagang, namun keramaiannya tetap kalah dengan pelabuhan Banten. Ketika pelabuhan sunda kelapa sudah ramai, datanglah armada dagang Belanda dan membangun loji-loji dagang di sekitar Sunda Kelapa, pada awalnya kedatangan Belanda ini disukai oleh Pangeran Jayawikarta penguasa Sunda Kelapa dan menamakan wilayah kekuasaannya sebagai Jayakarta, tetapi atas desakan dari Banten yang pada waktu itu sudah tidak menyukai kehadiran Belanda akibat politik campur tangan diKesultanan Banten, Pangeran Jayawikarta di paksa untuk melawan Belanda. Pada saat itu pemimpin dagang dan bersenjata Belanda bernama Jan Pieter Zoen Coen yang oleh orang-orang Betawi di kenal sebagai Murjangkung, nah JP Zoen Coen melakukan tindakan penyerangan ke arah benteng-benteng di tepi pelabuhan Sunda Kelapa, pada awalnya Pangeran Jayawikarta mampu bertahan dan berharap ada bantuan dari Banten dan Cirebon, namun Belanda dengan cerdik melakukan pengepungan dengan memblokir jalan-jalan yang kemungkinan di lalui pasukan bala bantuan. Pada tahun 1614 Pangeran Jayawikarta memutuskan untuk meloloskan diri dari pengepungan yang berbulan-bulan lamanya. Ia bersama lima ratus orang pasukannya menyingkir ke daerah rawa-rawa yang kini dikenal sebagai Sunter, Pangeran-pun mendirikan pusat-pusat perlawanan gerilya. Pada awal tahun 1618, pasukan Banten berhasil menyusup ke Jayakarta dari arah Bogor, dan mereka membangun markasnya di sekitar hutan Jati yang sangat lebat (kini bernama Jatinegara). Pangeran Jayawikarta- pun bergabung dengan pasukan Banten dan menyusun serangan, namun JP Zoen Coen memutuskan untuk menggempur habis-habisan pasukan Banten-Jayakarta, sebelum datangnya pasukan yang jauh lebih besar Mataram-Sultan Agung. Intelijen JP Zoen Coen mendengar bahwa pasukan Mataram akan melakukan penyerbuan-penyerbu an ke wilayah pesisir dan pada saat itu sedang bertarung di wilayah priangan untuk menaklukkan bekas wilayah Pajajaran-Hindu yang dikuasai raja-raja kecil Islam. Menurut hitung-hitungan JP Zoen Coen, lambat tapi pasti Mataram akan menyerang Jayakarta untuk membangun pelabuhan dagangnya yang dekat dengan pelabuhan Malaka. Untuk itu dia membereskan separatis Betawi di tanah-tanah yang diakui sebagai hak VOC.Hitungan JP Zoen Coen ternyata sangat tepat, ia berkonsentrasi menghabisi pasukan Banten-Jayakarta untuk itu ia mengambil ratusan tentara bayaran dari Jerman dan beberapa budak yang didatangkan dari Bali, Bugis dan Ambon untuk menyerbu markas Pangeran Jayakarta. Pada tahun 1620, markas pangeran jayakarta diserbu oleh JP Zoen Coen dan sejarah membuktikan Pangeran tu mengalami kekalahan, Pada saatpasukan Belanda mengepung masjid yang digunakan Pangeran untuk berlindung, Pangeran masuk ke dalam sumur yang berada di dalam masjid, dan Belanda mengira Pangeran sudah mati di dalam sumur itu, Masjid itu kini bernama Masjid Salafiyah yang berdiri di wilayah Jatinegara.Setelah beres dengan perlawanan dari unsur Banten, Zoen Coen menghadapi pasukan Mataram yang berada dibawah pimpinan Sura Agul-Agul dan beberapa senopati perang lainnya yang dibantu orang-orang Priangan. Namun taktik penghancuran logistik terhadap sawah-sawah yang menjadi sumber makanan pasukan Mataram dan diracunnya sungai Ciliwung menjadi kunci kemenangan VOC.Kota Jayakarta-pun diganti nama menjadi Batavia oleh Zoen Coen nama ini diambil dari kata Bataafs, sebuah dinasti yang menguasai Belanda dan Jerman Utara.Dan orang-orang asli yang menempati wilayah Batavia disebut juga Betawi Banyak orang yang mengira asal-usul suku asli Batavia adalah budak-budak Zoen Coen, namun perkiraan ini banyak salahnya daripada betulnya, suku Betawi merupakan suku yang memiliki sifat uniknya sendiri, mereka sangat apolitis, dan menghindar dari struktur kekuasaan, walaupun ada juga orang Betawi yang `keningrat-ningrata n dengan menggunakan gelar Raden, Raden betawi beda dengan Raden Sunda atau Raden Jawa yang hanya terdiri huruf `R', penulisan gelar Raden Betawi ditulis `Rd' misalnya : Rd. Mochtar, aktor jaman baheula. Orang Betawi sendiri mungkin berasal dari Melayu atau orang Jawa yang tinggal di pesisir namun menolak bagian dari suku pedalaman, ini sama saja dengan kaum Melayu di Kalimantan yang merasa bukan bagian dari Dayak, atau Melayu di Sumatera Utara yang menihilkan suku Batak. Sedari awal kita sudah lihat pemegang-pemegang kekuasaan di Sunda kelapa atau batavia adalah orang-orang pendatang seperti : Pajajaran-Hindu, Banten, Portugis dan Belanda. Saking sering konflik dengan Pajajaran Bogor, orang Betawi sampai sekarang kalau mengumpat berkata "Dasar Pejajaran!"Orang-orang asli Betawi seakan-akan tidak peduli siapa pemegang kekuasaannya. Itulah yang dapat menjelaskan mengapa suku betawi jarang sekali menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan kotanya sendiri, jabatan yang paling disenangi orang Betawi adalah jabatan-jabatan yang berhubungan dengan agama, makanya banyak sekali dari orang-orang Betawi yang terdidik bekerja di Departemen Agama.Untuk menjawab mengapa Betawi sangat berjarak dengan kekuasaan, mungkin jawaban yang paling tepat adalah orientasi budaya. Budaya betawi sangat unik dibanding budaya-budaya urban di kota-kota besar dunia pada jamannya seperti Huan Long (Vietnam) atau Kyoto (Jepang). Biasanya budaya urban mendorong kegiatan niaga kepada penduduk aslinya, namun untuk kasus Betawi mereka tidak menyukai dunia dagang, hidup mereka di orientasikan pada agama Islam. Untuk menjelaskan cara hidup Betawi, cara pandang Islam merupakan jawaban tepat. Bagi orang-orang Betawi kehidupan dunia tidak memiliki arti apa-apa, cita-cita terbesar orang Betawi adalah naik haji, dan bergelar Haji. Bagi orang Betawi pendidikan harus diorientasikan ke pendidikan agama bukan pendidikan cara Belanda, berbeda dengan suku-suku lain seperti Banten, Sunda dan Jawa yang perlahan menganggap pendidikan sekuler sangat penting, suku betawi sampai saat ini melihat pendidikan sekuler kalah penting ketimbang pendidikan agama. Jika kita menonton sinetron si Doel ada sebuah kesalahan fatal dari penilaian Rano Karno (sebagai penulis ide cerita) yang menganggap betawi itu sebagai orang-orang yang terbelakang secara pendidikan, karena disini Rano Karno melihat cara pendidikan Betawi dari kaca mata orang yang dididik dan dibesarkan dalam pendidikan sekuler dan ala barat. Orang-orang Betawi sangat berpendidikan bahkan beberapa orang kaya Betawi (contohnya Betawi Kuningan dan Betawi Tenabang) menyekolahkan anaknya ke Mesir dan Irak, banyak dari mereka bermukim di Mekkah untuk menimba ilmu agama, ratusan madrasah-madrasah dibangun untuk menampung anak-anak betawi, nah disinilah letak perbedaan orientasi, bagi suku-suku Batak, Minang, Sunda, Jawa dan Bugis (suku yang paling mendominasi arus intelektual di Indonesia), pendidikan ala barat merupakan patokan kecerdasan dan tingkat intelektualitas seseorang yang diperoleh melalui kapital simbolik ijazah sekolah barat yang sekuler. Lain ladang lain belalang bagi orang Betawi keberhasilan adalah bagaimana ia menyelesaikan pendidikan agama dan menjalani hidup dengan irama yang ia yakini, berorientasi pada alam akhirat dengan mengambil pahala banyak-banyak sesuai apa yang mereka yakini. Perbedaan orientasi inilah yang kerap menimbulkan salah paham bahwa orang-orang betawi sangat tidak menghargai pendidikan. Mereka justru sangat menghargai dasar-dasar pendidikan, hanya orang Betawi-lah yang mengenal kultur `Pagi belajar di SD, Siang ke Ibtidaiyah'. Pandangan mereka pendidikan haruslah holistik bukan kompartemental yang berakibat tidak seimbangnya nalar dan hati.Orang Betawi terkenal senang menerima pendatang. Banyak dari pendatang-pendatang luar Jakarta yang modalnya buntelan menjadi sukses di Jakarta, waktu susah banyak ditolong orang Betawi di gang-gang sempit atau toleran terhadap bayaran rumah kontrakan. Rasa bertetangga mereka sangat tinggi, bahkan banyak ketika orang pendatang itu pindah ke tempat yang lebih jauh dan lebih nyaman dari awal dia hidup masih sering berhubungan dengan `kerabat-kerabat betawi-nya yang dulu pernah menolong'. Orang Betawi terkenal blak-blakan, kalau bicara seperti orang nyanyi. Bahasa Betawi adalah bahasa Melayu yang terkenal dengan akhiran huruf e. Kalau orang Melayu mengucapkan huruf e itu dengan mengayun lembut, orang Betawi membunyikannya dengan lempeng. Bahasa Betawi adalah bahasa yang paling berpengaruh dalam ruang pergaulan informal anak muda, kini seluruh radio-radio di seantero Nusantara menggunakan bahasa Indonesia dengan dialek Betawi sebagai bagian dari proses `Jakartanisasi' .Suku Betawi adalah satu-satunya suku di Jakarta yang paling awet menerima gempuran budaya urban, suku-suku lain seperti Jawa, Sunda dan Bugis mengalami kekalahan yang hebat dan mundur ke wilayah-wilayah pedalaman, pesisirnya dikuasai Belanda dan orang-orang timur asing (Vreemde Osterlingen) seperti Cina dan Arab. Berbagai macam pengaruh yang mencampuri keragaman budaya Betawi bahkan darah suku-suku Betawi tidak murni lagi sebagai sebuah ras, orang-orang Betawi adalah campuran dari cina, eropa dan arab. Bagi saya pribadi pernah membagi-bagi fisiognomi-geografi orang-orang Betawi, untuk ras yang di dominasi oleh ras Arab berdiam di sekitar wilayah-wilayah pusat dan utara kota Jakarta, orang-orang Betawi Ancol, Sunter, Tanah Abang, Slipi, Pekojan, dan sekitar Kampung Melayu dan Jatinegara merupakan betawi yang memiliki tekstur arab secara khas, mereka banyak yang keturunan arab. Sedangkan betawi-betawi yang berdiam di sekitar Kuningan, Mampang, Buncit, Pejaten, Kemang dan wilayah-wilayah tengah banyak yang berkulit putih bersih dan bermata sipit, mereka ini banyak keturunan dari ulama-ulama besar Islam keturunan Cina, sedangkan untuk wilayah Depok, ada sebuah keunikan, suku-suku betawi ini di bagi dua kelompok besar yaitu : keturunan Belanda dan keturunan sisa-sisa lasykar Mataram yang tidak berani pulang ke asalnya karena takut dihukum. Untuk yang keturunan Belanda terlihat sekali tingginya, bila anda datang ke wilayah-wilayah Jagakarsa, Ciganjur, Depok lama maka sesekali terlihat wajah-wajah indo yang tinggi badannya sekitar 180-an cm yang bicaranya `ngapak-ngapak' , namun jenis ras indo ini tidak banyak, keturunan Mataram-lah yang banyak, mereka sendiri tidak mengetahui atau tidak mau mengetahui keturunan lasykar-lasykar Mataram, tapi bila dilihat dari namanya sungguh nama-nama itu adalah nama yang berasal dari Jawa; seperti Wiro, Tole, Bagor, Diro, Pulung dll yang bukan merupakan ciri khas nama Sunda atau Banten yang lebih banyak terpengaruh nama-nama Islam. Karena merupakan suku melting pot yang terus menerus berbaur bisa dikatakan wanita Betawi itu cantik-cantik.Ada juga betawi-betawi yang menyimpang dari arus besar komunitas, dan membentuk subkultur yang pertama, adalah keturunan Betawi-Portugis yang berdiam di sekitar wilayah Tugu dekat Tanjung Priok, agama mereka bukan Islam tetapi Kristen Protestan, pada awalnya mereka beragama Katolik tapi atas paksaan VOC yang anti Katolik danpenganut protestan Calvinis, mereka dipaksa masuk Protestan oleh Belanda dan sampai sekarang agama mereka protestan, mereka memiliki budaya sendiri seperti lempar-lempar bedak pada hari natal atau yang paling populer adalah musik keroncong, di tahun 1930-an orang-orang Tugu banyak menjadi buaya-buaya keroncong terkenal. Yang kedua subkultur Betawi "Belanda-Depok" .Dulu disekitar wilayah Depok berdiri sebuah perkebunan besar yang dibangun oleh Cornelis Chastelein, pejabat penting VOC, wilayah ini mencakup Depok, Cinere dan sebagian kecil wilayah Jakarta Selatan. Luasanya sekitar 1285 hektar (hitungannya sekarang mungkin mencakupi 6 kecamatan). Pada tahun 1696 menjelang Chastelein pensiun ia membeli tanah tersebut dan tahun 1714 tanah tersebut di wariskan oleh budak-budak yang dimerdekakannya, budak-budak itu diperkirakan ada 12 orang, nama-nama mereka adalah Leander, Loen, Jacob, Laurens, Joseph, Jonathans, Bacas, Soedira, Isakh, dan Zadokh. Keturunan-keturunan mereka banyak menguasai tanah-tanah di Depok, agama mereka kebanyakan Kristen Protestan, untuk nama belakang Zadokh saat ini tidak ditemukan lagi, kemungkinan karena beberapa generasi setelah Zadokh tidak ada lagi keturunan pria. Anton_djakarta@yahoo.com

Codet Cagar Sejarah Betawi

Condet Cagar Sejarah BetawiOleh Alwi ShahabCondet, yang ditetapkan gubernur Ali Sadikin sebagai cagar budaya Betawi sejak 1976, boleh dikata gagal total. Warga Betawi yang dulu mayoritas di kawasan Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur ini, sudah banyak yang hengkang atau makin terdesak ke pedalaman. Sementara kebun dan pepohonan rindang yang dulunya boleh dikata tidak tertembus sinar matahari saking rimbunnya, kini berganti menjadi rumah-rumah dan gedung bertingkat.Gagal menjadikan Condet sebagai cagar budaya, kini datang usulan baru. Pemprov DKI Jakarta diminta menjadikan Condet sebagai cagar sejarah Betawi. Usulan ini terlontar dalam seminar 'Pengembangan Pelestarian Budaya Betawi', 6 Oktober 2001, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Menjadikan Condet sebagai cagar sejarah, menurut budayawan dan politisi Betawi, Ridwan Saidi, punya dasar yang kuat.Ia mengemukakan temuan arkeologis pada situs Condet mengindidikasi hunian purba, sedikitnya pada periode 3000 tahun SM. Toponim di Condet (Ciondet) seperti Batualam, Batu Ampar, Bale Kambang, Pangeran, Dermaga, mencerminkan kehidupan masyarakat dan kebudayaan masa lampau. Dinas Kebudayaan dan Permusiuman DKI Jakarta, pada penelitian arkeologis pada tahun 1970-an telah menemukan benda-benda prasejarah seperti kapak, beliung, gurdi, dan pahat dari batu.Benda-benda itu banyak terdapat di tepian sungai Ciliwung, di daerah Condet dan Kalibata Pejaten, Jakarta Selatan. Benda-benda ini diduga berasal kira-kira 1000 - 1500 SM. "Pada masa itu, di Condet dan beberapa tempat di Jakarta sudah ditempati nenek moyang bangsa Indonesia," tulis sejarawan Sugiman MD dalam buku 'Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi.' Berarti di zaman batu baru (neolithic) orang telah hidup dan tinggal di Condet, dengan mempergunakan benda-benda tadi sebagai alat untuk menebang pohon, memotong, dan untuk berbagai keperluan lainnya. Khusus di Pejaten, pada penggalian 1971 didapat pula lampu perunggu, lampu kuil, menandakan di sana telah dikenal orang akan adanya kepercayaan atau agama.Untuk lebih memperkuat usulannya kepada Pemprov DKI, Ridwan mencontohkan batu ampar yang kini menjadi nama jalan dan kelurahan di Condet. Batu ampar yang di Tangerang disebut batu ceper adalah batu yang biasanya berukuran minimal 4 x 6 meter. Di atas batu ini sesajen diletakkan. Sangat mungkin batu ampar di Condet masih ada di suatu tempat di kebon penduduk. Bale Kambang, nama kelurahan di Condet, merupakan pasanggrahan raja-raja. Dapat dipastikan sisa bangunannya sudah musnah, tetapi lokasinya masih dapat diperkirakan. Sedangkan batu alam, juga nama jalan di Condet, dalam tradisi kekuasaan purba, adalah tempat melantik raja baru.Di samping merupakan permukiman tertua di Jawa, Condet yang penduduknya sangat taat menjalankan syariat agama, pernah dikenal sangat heroik melawan penjajah. Pada 1916, rakyat Condet di bawah pimpinan Haji Tong Gendut mengangkat senjata melawan tuan tanah Belanda yang menguasai Cibeureum, Kranggan, dan Cimanggis, di Kabupaten Bogor. Tempat tinggal tuan tanah itu di depan Jl Raya Condet sekarang ini, yakni di Kampung Gedong. Rumah tuan tanah ini disebut kongsi, yang kini dipakai untuk Kesatrian Polisi Tanjung Timur. Tong Gendut mengumpulkan para pemuda berjihad fi sabilillah melawan tuan tanah yang selalu memeras penduduk. Tetapi pemberontakan ini dapat digagalkan.Pemberontakan kedua terjadi 1923, tidak menggunakan kekerasan senjata, melainkan dengan melakukan penebangan pohon-pohon besar. Pemberontakan ini berhasil membuat para mandor tuan tanah mundur, karena tidak berani menghadapi massa rakyat.Sejak saat itu, rakyat Condet makin berani melawan Belanda, termasuk menunggak pajak atau blasting. Ini berlangsung hingga 1934, tahunketika rakyat Condet mengadukan kepada pengadilan mengenai pemerasan yang dilakukan tuan tanah. Rakyat meminta bantuan hukum kepada tokoh-tokoh perjuangan: Mr Sartono, Mr Moh Yamin, Mr Syarifuddin, dan lain-lain. Rakyat Condet akhirnya menang perkara. Tetapi keputusan baru datang setelah pemerintah Federal. Di masa federal ini, Belanda mengambil hati rakyat Condet, dengan menghapuskan tuan tanah.